Selama dua puluh enam tahun aku hidup, ada beberapa kejadian yang membuatku merasa terintimidasi. Yang pertama kali aku ingat adalah hari pertamaku bekerja di Haute. It was nightmare, satu timku benar-benar mengintimidasi, nggak ada sapaan ramah seperti yang sekarang aku dapatkan ketika ke kantor. Boro-boro mengobrol, they were busy gossiping about me and Thierry (It was a hot topic back then). Satu minggu pertama, aku habiskan menelepon dan mengirimi Gemma pesan untuk menemaniku setiap makan siang.
Selain itu, menjemput Mami pulang arisan dari Sofia at The Gunawarman dengan geng sosialita elit kawasan Jakarta Selatan-nya itu mampu membuatku diposisi layaknya sedang ditodong pisau dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurutku tidak penting seperti “Michelle, kapan nikah sama Thierry?” “Jangan sibuk-sibuk kerja, nanti diambil orang lho pacarnya,” dan komen-komen lainnya yang membuat aku mengelus dada. Malam ini aku menambah satu lagi ke dalam list kejadian yang mampu membuatku merasa terintimidasi. Aku nggak pernah tahu kalau mencoba untuk berbicara dengan Jeff Gautama akan sangat mengintimidasi.
Sudah lebih dari tiga puluh menit aku duduk satu meja dengan Jeff Gautama dan dengan jarak yang cukup dekat tapi nggak ada satu pun tindakan yang aku lakukan untuk berbicara dengannya. Aku nggak mengerti, tapi berada di sekitar Jeff membuatku tidak seperti biasanya. Ada sesuatu dari dirinya yang mampu membuat orang merasa terintimidasi dan segan untuk sekadar basa-basi.
“You’ve been eyeing me the whole night, MJ.” Jeff membuka suara, satu tangannya memegang segelas whiskey. Tubuhnya menyender di sofa dengan santai memerhatikanku yang berada di serong kirinya.
Tubuhku menegang dan tidak sadar kalau apa yang aku lakukan sejak tadi terlalu kentara. Was it really obvious?
Seperti cenayang Jeff seakan bisa membaca pikiranku. “Geez, Michelle, lo pikir gue nggak memperhatikan lo? It was so obvious.”
Aku bisa melihat bibirnya menyunggingkan seringai menyebalkan, “You finally open your eyes and realized I’m hotter than your asshole ex?”
Thierry is Jeff’s main rival. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka berdua membenci satu sama lain sejak era karting. Walaupun Jeff pernah menjadi teammate Thierry, itu tidak membuat keduanya menjadi akur apalagi berteman. Era ketika Jeff menjadi teammate Thierry untuk Audi adalah hal tergila yang pernah ada di sejarah Formula 1. Aku bahkan tidak mengerti sampai sekarang apa yang ada dipikiran Nico Falcone — team principal Audi kala itu — untuk menyatukan mereka. Canadian Grand Prix 2017 sebagai bukti bahwa mereka berdua seharusnya memang tidak boleh balapan di satu tim yang sama.
“You’re so full of yourself, do you know that?” Aku menggelengkan kepala lalu mengambil gelas dan meminumnya hingga tak bersisa.
“I am well aware of that, love.” ucap Jeff sambil tersenyum yang mungkin mampu membuat kaum hawa di sini meleleh kecuali aku. “Lo ngapain di sini?”
“Support Oliver. Lo lupa kalau teammate lo itu adik gue?”
Jeff let out a fake laugh. “Lo pikir gue percaya? Sejak lo putus sama Thierry, lo ngilang dari paddock. So what makes you come back?”
Aku mengedarkan pandanganku ke arah kerumunan di Hard Rock dan melihat seseorang yang sejak pagi tadi aku hindari. Karena aku yang tidak merespon pertanyaan Jeff, laki-laki itu mengikuti kemana arah mataku melihat. Thierry dan Giselle.
“Oh, gue tahu. Revenge?” Jeff mengangkat sebelah alisnya.
Kepalaku menoleh ke arah Jeff dan menggeleng. “Nggak. I don’t do revenge,”
“Why not?”
“It’ll waste my time. Ngapain gue ke sini cuma buat manas-manasin Thierry? I’m over him, Jeff.” aku menyuarakan fakta kepada Jeff.
“Not him. His girlfriend. Bukannya lo berdua sahabatan?”
“Well not anymore,” kataku dan langsung mengalihkan topik pembicaraan. “Lo dari tadi diem aja di sini. Didn’t seem to enjoy the party. Bad day, huh?”
Netra Jeff memperhatikan gelas yang berisikan cairan oranye. “You could say that. Not in the mood for party,”
“Tumben banget. You’re the king of the party, it’s rare to see you like this. Is it because of the race?” aku menebak hal yang membuat dirinya bad mood.
Jeff memicingkan matanya kepadaku. “What is it Michelle?”
“What is what?” tanyaku bingung.
“Lo bukan tipe orang yang basa-basi dan gue juga tahu lo nggak suka gue. So do you up to something? what is it?” Jeff menatapku. Dia menaruh gelasnya di meja dan memposisikan tubuhnya menjadi lebih tegak. “Gue kira lo mau manas-manasin Thierry dengan berada di meja gue,”
“I just want to talk to you,” gumamku. “Emang nggak boleh?”
“Gue nggak bilang nggak boleh. This is so not you. I knew you, so cut the bullshit.”
Aku tertawa gugup. “What makes you think of that? Gue sama lo emang sering liburan bareng dulu, tapi lo nggak tahu gue, Jeff. We rarely talk.”
“Exactly. So why are you here, on my table, talking to me?”
Shit. shit. shit. Michelle, you are so dumb. Everyone said that Jeff is a mastermind in Formula 1, and I had to admit they’d been right.
“What do you want, Michelle?” Jeff bertanya sekali lagi.
Aku berdeham. “I need to interview you for my magazine. I already talked to Raya and Ricky, but they refused my offer. Jadi, gue mau ngomong langsung sama lo,”
“Ekspektasi lo apa? Gue setuju untuk interview?” tanya Jeff dengan intonasi yang sangat dingin.
Gila, aku nggak pernah bertemu orang yang bisa switch dari intimidating, ke playful, lalu balik lagi ke intimidating hanya dalam beberapa detik.
“Gue berharap lo mau melakukan interview ini sama gue.”
“Kalau Raya dan Ricky menolak lo berarti memang interview lo nggak sesuai dengan gue. What do you wanna talk about?”
“Your life outside of the sport,” ucapku. “Kehidupan personal lo. Kayak keluarga, pacar, peliharaan lo or anything outside of the sport,”
Jeff menggeleng. “No.”
“Why?”
“My family is off limits, Michelle Jane. I keep my family out of this,” Jeff beranjak dari tempat duduknya. “I can help you with anything but not exposing my personal life, Michelle.”
“I can do anything you want if you agree to this, Jeff. It’s important,” aku terdengar seperti seseorang yang sangat putus asa tapi untuk pertama kali dalam hidup, aku nggak peduli.
Jeff membungkuk dan mencium pipiku. “No, Michelle. I need to go, it was nice seeing you back in the paddock. I’ll see you around.”